Friday, October 23, 2009

FILM ANIMASI "MERAIH MIMPI": BINGUNG DENGAN MIMPI DANA

Akhirnya Dana dan Rai berhasil juga mendapatkan surat warisan itu. Surat yang akan membuktikan, bahwa Pairot bukanlah pemilik seluruh tanah di kampung itu, dimana di tanah itu terdapat rumah keluarga Dana dan beberapa penduduk lain.

Dana (disulihsuarakan oleh Gita Gutawa) memang harus mencari surat wasiat itu sampai dapat, meskipun ia harus melewai berbagai rintangan, mulai dari melewati hutan belantara dan gua yang gelap gulita. Bahkan ia bersama adiknya Rai (disulihsuarakan oleh Patton ‘Idola Cilik’) sempat menguji jantung mereka pada saat naik kendaraan berbentuk cangkir minuman yang ada di gua itu dan melakukan aksi ala permainan halilintar di Dunia Fantasi, sebagaimana di film Indiana Jones. Selain ketegangan itu, di akhir Dana dan Rai hendak keluar gua, anak Pairot (disulihsuarakan Surya Saputra) yang bernama Ben (disulihsuarakan oleh Indra Bekti) yang sejak awal mengikuti mereka, mengambil surat wasiat itu. Anak Pairot itu langsung menutup pintu gua dan meninggalkan Dana dan Rai di dalamnya.

Seketika penonton menyimpulkan itu adalah akhir petualangan Dana dan Rai untuk menyelamatkan penduduk dari ketamakan Paiton yang ingin mengusir warga dan mengubah tanah kampung itu menjadi kasino dan perhotelan mewah. Namun ternyata anak Paiton sadar, bahwa saat-saat seperti itulah justru ia harus tunjukan kebaikan, agar Dana yang sebetulnya telah dijodohkan dengan anak Paiton respek pada dirinya.

Sejak awal, saya coba memahami mimpi Dana. Maklumlah, yang menjadi tokoh utama di film ini memang Dana. Gadis yang tidak jelas usianya berapa dan kelas berapa ini hidup bersama ayah, adik, dan neneknya. Sutradara hanya memberi gambaran ke penonton betapa bahagianya keluarga Dana, yang nampaknya tidak mempersoalkan keberadaan ibunya ini. Padahal di usia yang beranjak dewasa, selayaknya gadis remaja sedang giat-giatnya curhat dengan ibunya. Yang banyak diperlihatkan justru malah Oma (disulihsuarakan oleh Jajang C. Noor).

Namun Dana lebih suka bermimpi. Namun mimpinya tidak begitu jelas. Saya baru menemukan kejelasan mimpi Dana ketika timbul konflik antara dirinya dan ayahnya, dimana ayahnya setuju Dana akan dijodohkan dangan anak Paiton si tuan tanah yang bertubuh tambur dan selalu bergaya ala Elvis Presley itu. Tentang perjodohan inilah awal konflik, meski sebelumnya penonton sudah digiring dengan kisah kampung yang akan digusur oleh anak buah Paiton.

Dari kisah perjodoan itu, Dana mengungkapkan soal mimpi mendapatkan beasiswa. Menurutnya, dengan beasiswa, ia bisa menyelamatkan kampungnya dan harga dirinya yang ingin digadaikan pada anak Paiton. Ketika beasiswa didapat, mimpinya lain lagi, yakni ingin mendapatkan surat wasiat asli yang ada di bukit di atas cengkraman matahari, seperti yang diceritakan oleh ayah kandung Paiton, Kakek Wiewien (disulihsuarakan oleh Yose Rizal Manua), yang dianggap gila oleh warga kampung.

Entah Sutradara lupa atau memang menganggap film animasi untuk konsumsi anak-anak paling mengena jika konflik yang dibangun soal perjodohan. Padahal ini stereotype sekali, apalagi penonton Indonesia masa kini, pun anak-anak, sudah tidak mengenal istilah perjodohan. Namun sekali lagi, Sutradara ingin mengangkat stereotype film-film animasi ala putri-putrian produksi Walt Disney seperti Cinderella, Sleeping Beauty, dan lain-lain, yang diadaptasi ke Meraih Mimpi. Dan sudah bisa diduga, inilah film ala Sitti Nurbaya versi Meraih Mimpi. Kelemahan lain selain cerita soal mimpi yang tidak jelas itu, mengenai filmnya sendiri yang menurut saya kurang membumi, mengindonesia.

Sulihsuara yang ada di animasi Meraih Mimpi buat saya cukup mengganggu. Banyak penonton menganggap, perbedaan antara mulut tokoh di animasi Meraih Mimpi itu akibat kurang sync antara animasi yang dibuat dengan dialog pada skenario. Namun sejak awal saya sudah curiga, film animasi ini aslinya berbahasa Inggris, lebih tepatnya Inggris Melayu. Asumsi ini saya simpulkan, karena melihat deretan kru film Meraih Mimpi yang mayoritas “orang bule”, salah satunya Sutradara film ini: Phil Mohamad Mitchell. Selain Mitchell yang bertindak sebagai Produser ada nama Mike Wiluan dan Chan Pui Yin dan ada nama Alex Sandford sebagai pembuat basic story.

Nama Nia Dinata dengan Kalyana Shira Film di film Meraih Mimpi barangkali hanya ingin menunjukan orang Indonesia ikut serta di film animasi ini, sehingga para penonton di Indonesia ini diharapkan bangga memiliki film animasi ber-setting ‘Indonesia’. Sungguh terlalu sadis kalo saya katakan Nia cuma dipasang namanya, padahal tidak seperti itu. Nia tetap punya andil, kok, yakni sebagai script localized artinya Penulis skenario yang mengadonkan warna-warna lokal dengan warna-warna global. Penulis skenario ‘aslinya’ sendiri ‘orang bule’, yakni Philip Stamp. Dengan bantuan Nia, unsur-unsur wayang di film Meraih Mimpi, bisa terakomodir, termasuk logat para binatang yang menggunakan logat beberapa daerah di Indonesia. Nama-nama Indonesia (pastinya) justru ditampilkan di level penyulihsuara. Ada Cut Mini yang sedang naik daun, karena film Laskar Pelangi yang mensulihsuarakan karakter seekor burung Kakaktua bernama Kakatu; Indra Bekti sebagai Ben; Jajang C. Noor (Oma); Surya Saputra (Pairot); Shanty (Minah); Ria Irawan (Kadal); Nina Taman (Kelelawar); dan tentu saja Gita Gutawa.

Ketika sudah mengerti soal dialog aslinya yang berbahasa asing itu, saya langsung berpikir jauh, Meraih Mimpi pasti bukan hanya dikonsumsikan penonton Indonesia. Ternyata benar, film tersebut berdasarkan sebuah novel yang juga sudah dibuatkan animasinya berjudul Sing to the Dawn karya Minfong Ho. Novel dan film tersebut sudah lebih dulu beredar di Asia. Oleh karena setting perkampungan yang khas orang Melayu atau mirip-mirip di Indonesia, wajah Melayu, hutan, pria dengan kaos oblong, kekeluargaan antara anak, ayah, dan nenek, serta hal-hal lain, dimana semua ini sangat Asia sekali, maka penonton tidak akan mempertanyaan mengenai lagi siapa pembuat animasi ini.

Satu hal yang sangat tidak membumi untuk ukuran setting Indonesia adalah tentang kasino atau pusat perjudian. Meski konon setting film ini berada di salah satu perkampungan di Batam, tapi membangun tempat perjudian di Indonesia tidak bisa sevulgar sebagaimana digambarkan di film ini. Lebih dari itu tempat-tempat perjudian menyebar, ilegal, dan tidak secara umum diketahui masyarakat. . Kalau pun ada di sentralisasikan di salah satu lokasi yang konon juga bersamaan dengan lokasi prostitusi Kramat Tunggak, namun tetap saja tradisi menggusur kampung menjadi kasino bukanlah Indonesia.

Di akhir tulisan ini, saya tetap mengacungkan jempol atas usaha Nia Dinata yang membuat anak-anak kami mendorong kami ke bioskop untuk menyaksikan film Meraih Mimpi ini. Meski usia tayang di bioskop relatif sebentar, artinya nggak meraih kesuksesan sesuai harapan, namun usaha Nia patut dibanggakan. Dan pada akhirnya antara Bapak -dalam hal ini saya- dan anak sama-sama bingung dengan mimpi Dana. Ah, barangkali saat ini Dana masih sedang mencari mimpinya dan kemudian meraihnya.

No comments: