Itulah kalimat yang diucapkan Pak Kirno yang saya temui di depan
pintu gerbang Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat. Bapak setengah baya ini
adalah satu dari ribuan mustahik yang berhasil mendapatkan jatah daging
qurban.
“Saya datang ke masjid dari jam 4 subuh, Pak,”
katanya sambil memegang erat-erat sekatong plastik berlogo Masjid
Istiqlal yang berisi daging qurban. “Saya nyelak aja di antara antrean.
Habis kalo ikutan ngantri, nggak bakal dapat, Pak. Tetangga saya aja
yang kemari pakai bajaj, ngantri dari jam 4 kayak saya, nggak dapat.”
Antreannya meliuk-liuk hampir sepanjang 400 meter. Mereka rela melakukan ini cuma demi 1 kilo daging sapi atau kambing.
Di
gerbang Masjid, Pak Kirno sedang menunggu anaknya yang juga ikut ambil
jatah daging qurban. Sementara di antara ia, beberapa ibu-ibu keluar
pagar dengan wajah kecewa berat. Maklum, mereka banyak yang mencoba
mengantri, tetapi nasib mereka apes, karena menurut Panitia jatah hewan
qurban.
“Padahal saya tahu masih ada beberapa sapi yang
belum di potong,” kata Pak Kirno. “Di dalam aja saya lihat masih banyak
daging, kok. Buat panitia kali, tuh!”
Ketika
antrean panjang dan berdesak-desakan, anak-anak terhimpit. Pasukan
penyelamat anak-anak pun menjadi sangat penting. Anak-anak yang hampir
kehabisan nafas, mau pingsan, dan terjepit, langsung diangkat satu per
satu.
Pak Kirno dan beberapa orang mustahik lain boleh
jadi beruntung. Salah seorang yang paling apes dialami oleh Bu Endang.
Ia bela-belain datang ke Masjid sehari sebelum pemotongan hewan, yakni
hari Kamis. Bersama anaknya, ia bermalam di palataran parkir masjid.
Malang benar, ketika hari Sabtu dini hari bangun, anteran sudah panjang.
Meski ia mencoba antre, Panitia pun mengumumkan lewat speaker pada
pukul 07.15 wib, daging qurban sudah habis.
Kalo Anda
berada di Masjid Istiqlal pagi tadi, sedih sekali melihat para mustahik.
Sebelum Panitia mengumumkan daging qurban habis, saya sedih, begitu
banyak orang Islam miskin yang ada di Jakarta ini. Ironisnya lagi,
mereka antre di depan sebuah Gereja Katedral. Saya yakin kalo ada jamaah
non-muslim yang melihat kondisi di areal Masjid kayak begitu dari balik
jendela Gereja Katedral, mereka pasti geleng-geleng kepala. Masya
Allah!
Biar
sudah datang sehari sebelumnya bela-belain nginep, atau datang pagi,
belum tentu dapat jatah daging qurban. Banyak orang yang kecewa dengan
"tragedi" jatah daging habis!
Makin sedih hati kita
begitu jatah hewan qurban diumumkan habis oleh Panitia Masjid. Mereka
yang sudah berusaha antre bermeter-meter –antrean bisa mencapai empat
ratus meter, karena antreannya meliuk-liuk-, pasti akan kecewa berat.
Entahlah kenapa ini sampai terjadi. Satu yang pasti, para pengantri ini
nggak dibekali oleh kupon. Saya nggak tahu apakah di tahun-tahun
sebelumnya sempat menggunakan kupon dan kemudian ditiadakan, karena
nggak efektif, atau memang tahun 2009 ini sengaja nggak pakai kupon,
sehingga Panitia yang konon menyiapkan 7.000 kantong daging qurban
dengan percaya diri bisa sukses membagikan.
Buat saya,
peristiwa pagi ini di Masjid Istiqlal membuat malu diri saya sebagai
orang Islam. Entahlah apakah Panitia juga malu. Yang pasti, konsep
bagi-bagi hewan qurban kayak begini kan bukan baru setahun-dua tahun ini
saja dilakukan, tetapi sudah bertahun-tahun. Namun kenapa kejadian
kayak begini masih saja terjadi ya? Aneh!
Yang
menjadi korban jadinya malah anak-anak. Banyak anak kecil yang
digendong oleh Ibunya yang terjepit di antara antrean. Ada yang hampir
kehabisan nafas dan harus segera ditarik dari antrean, lalu diberikan
minum. Ada yang muntah-muntah, karena sudah antre dari hari sebelumnya
dan masuk angin.
Barangkali mekanisme
pembagian daging qurban memang sudah salah. Bukankah seharusnya kita
–Panitia atau orang yang mampu- membagi-bagikan daging, bukan mustahik
yang disuruh antri? Sebab, dengan mereka mengantre, Panitia pasti nggak
akan tahu apakah yang antre itu benar-benar mustahik yang membutuhkan
atau justru sebaliknya mereka yang dengan sengaja menjadi pengumpul
daging? Apalagi mereka yang mengantre nggak dibekali oleh kupon. Bukan se’udzon
ya, tetapi makelar daging seringkali bermunculan dalam kondisi kayak
begini. Mereka “berpesta” di tengah penderitaan para mustahik.
Dengan
sistem mengantar –bukan mengantre-, mustahik yang akan diberikan sudah
terdata dengan jelas. Barangkali tahun depan, harus ada panitia yang
bertanggung jawab men-delivery service daging qurban, kayak restoran-restoran franchise gitu. Setelah tim pembungkus plastik daging selesai, tim delivery service
ini langsung mengantarkan seluruh jatah hewan qurban ke kelurahan, atau
bahkan sampai ke RW-RW yang kemungkinan belum mendapatkan jatah qurban,
tetapi punya banyak mustahik di kampung itu.
all photos copyright by Brillianto K. Jaya
No comments:
Post a Comment