Saturday, September 5, 2015

KALO NGANTRI, SAYA NGGAK MUNGKIN DAPAT JATAH DAGING QURBAN

Itulah kalimat yang diucapkan Pak Kirno yang saya temui di depan pintu gerbang Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat. Bapak setengah baya ini adalah satu dari ribuan mustahik yang berhasil mendapatkan jatah daging qurban.

“Saya datang ke masjid dari jam 4 subuh, Pak,” katanya sambil memegang erat-erat sekatong plastik berlogo Masjid Istiqlal yang berisi daging qurban. “Saya nyelak aja di antara antrean. Habis kalo ikutan ngantri, nggak bakal dapat, Pak. Tetangga saya aja yang kemari pakai bajaj, ngantri dari jam 4 kayak saya, nggak dapat.”


Antreannya meliuk-liuk hampir sepanjang 400 meter. Mereka rela melakukan ini cuma demi 1 kilo daging sapi atau kambing.

Di gerbang Masjid, Pak Kirno sedang menunggu anaknya yang juga ikut ambil jatah daging qurban. Sementara di antara ia, beberapa ibu-ibu keluar pagar dengan wajah kecewa berat. Maklum, mereka banyak yang mencoba mengantri, tetapi nasib mereka apes, karena menurut Panitia jatah hewan qurban.

“Padahal saya tahu masih ada beberapa sapi yang belum di potong,” kata Pak Kirno. “Di dalam aja saya lihat masih banyak daging, kok. Buat panitia kali, tuh!”

















Ketika antrean panjang dan berdesak-desakan, anak-anak terhimpit. Pasukan penyelamat anak-anak pun menjadi sangat penting. Anak-anak yang hampir kehabisan nafas, mau pingsan, dan terjepit, langsung diangkat satu per satu.
Pak Kirno dan beberapa orang mustahik lain boleh jadi beruntung. Salah seorang yang paling apes dialami oleh Bu Endang. Ia bela-belain datang ke Masjid sehari sebelum pemotongan hewan, yakni hari Kamis. Bersama anaknya, ia bermalam di palataran parkir masjid. Malang benar, ketika hari Sabtu dini hari bangun, anteran sudah panjang. Meski ia mencoba antre, Panitia pun mengumumkan lewat speaker pada pukul 07.15 wib, daging qurban sudah habis.

Kalo Anda berada di Masjid Istiqlal pagi tadi, sedih sekali melihat para mustahik. Sebelum Panitia mengumumkan daging qurban habis, saya sedih, begitu banyak orang Islam miskin yang ada di Jakarta ini. Ironisnya lagi, mereka antre di depan sebuah Gereja Katedral. Saya yakin kalo ada jamaah non-muslim yang melihat kondisi di areal Masjid kayak begitu dari balik jendela Gereja Katedral, mereka pasti geleng-geleng kepala. Masya Allah!


Biar sudah datang sehari sebelumnya bela-belain nginep, atau datang pagi, belum tentu dapat jatah daging qurban. Banyak orang yang kecewa dengan "tragedi" jatah daging habis!
Makin sedih hati kita begitu jatah hewan qurban diumumkan habis oleh Panitia Masjid. Mereka yang sudah berusaha antre bermeter-meter –antrean bisa mencapai empat ratus meter, karena antreannya meliuk-liuk-, pasti akan kecewa berat. Entahlah kenapa ini sampai terjadi. Satu yang pasti, para pengantri ini nggak dibekali oleh kupon. Saya nggak tahu apakah di tahun-tahun sebelumnya sempat menggunakan kupon dan kemudian ditiadakan, karena nggak efektif, atau memang tahun 2009 ini sengaja nggak pakai kupon, sehingga Panitia yang konon menyiapkan 7.000 kantong daging qurban dengan percaya diri bisa sukses membagikan.

Buat saya, peristiwa pagi ini di Masjid Istiqlal membuat malu diri saya sebagai orang Islam. Entahlah apakah Panitia juga malu. Yang pasti, konsep bagi-bagi hewan qurban kayak begini kan bukan baru setahun-dua tahun ini saja dilakukan, tetapi sudah bertahun-tahun. Namun kenapa kejadian kayak begini masih saja terjadi ya? Aneh!



Yang menjadi korban jadinya malah anak-anak. Banyak anak kecil yang digendong oleh Ibunya yang terjepit di antara antrean. Ada yang hampir kehabisan nafas dan harus segera ditarik dari antrean, lalu diberikan minum. Ada yang muntah-muntah, karena sudah antre dari hari sebelumnya dan masuk angin.

Barangkali mekanisme pembagian daging qurban memang sudah salah. Bukankah seharusnya kita –Panitia atau orang yang mampu- membagi-bagikan daging, bukan mustahik yang disuruh antri? Sebab, dengan mereka mengantre, Panitia pasti nggak akan tahu apakah yang antre itu benar-benar mustahik yang membutuhkan atau justru sebaliknya mereka yang dengan sengaja menjadi pengumpul daging? Apalagi mereka yang mengantre nggak dibekali oleh kupon. Bukan se’udzon ya, tetapi makelar daging seringkali bermunculan dalam kondisi kayak begini. Mereka “berpesta” di tengah penderitaan para mustahik.

Dengan sistem mengantar –bukan mengantre-, mustahik yang akan diberikan sudah terdata dengan jelas. Barangkali tahun depan, harus ada panitia yang bertanggung jawab men-delivery service daging qurban, kayak restoran-restoran franchise gitu. Setelah tim pembungkus plastik daging selesai, tim delivery service ini langsung mengantarkan seluruh jatah hewan qurban ke kelurahan, atau bahkan sampai ke RW-RW yang kemungkinan belum mendapatkan jatah qurban, tetapi punya banyak mustahik di kampung itu.


all photos copyright by Brillianto K. Jaya

No comments: