Berkat anjuran sang guru, Khaira ngebet banget sholat di masjid dekat
sekolahnya, di masjid At-Taqwa. Bertahun-tahun hidup, baik saya maupun
istri belum pernah sholat di masjid yang berada di kompleks Universitas
Negeri Jakarta, Rawamangun, Jakarta Timur ini. Biasanya kami sholat Idul
Fitri maupun Idul Adha di lapangan Rawasari Country Club atau yang beken disebut sebagai Arcici yang ada di Cempaka Putih Barat, Jakarta Pusat.
Selama
ini anak kami memang patuh sekali pada gurunya, yakni Ibu Lina. Khusus
mengajak sholat di masjid At-Taqwa, alasan mengapa kami sekeluarga
diajak sholat Idul Adha di masjid ini adalah, karena kelas anak kami
menyumbangkan seekor kambing hasil sumbangan kolektif. Sumbangan ini di
luar sumbangan pemberian kambing secara pribadi, lho. Artinya, kambing
yang berasal dari sumbangan kelas Khaira merupakan hasil uang anak-anak
kelas yang dikumpulkan. Sementara masih ada orangtua murid di kelas
Khiara yang secara pribadi menyumbangkan kambing.
Tiap
kendaraan bermotor yang parkir buat sholat di sekitar masjid At-Taqwa
dipunggut retribusi sebesar Rp 5.000, yang katanya buat shodaqoh. Memang
sih dikasih karcis kayak begini, tetapi di karcis itu nggak ditulis
nominal angka Rp 5.000. Ini kebiasaan di Indonesia, pake karcis, tetapi
nggak transparan. Auditnya jadi susah dan menimbulkan lubang-lubang buat
pungutan liar.
Menurut Ibu Lina, sumbangan
dari kelas-kelas lain uangnya nggak mencapai jumlah yang layak buat
dibelikan kambing. Sementara kelas Khaira berhasil mengumpulkan dana
lebih dari satu juta. Tentu Anda tahu harga rata-rata kambing buat
qurban saat kan? Ya, minimal harganya bisa mencapai Rp 900 ribuan. Itu
pun ukurannya relatif kecil.
Kami sampai di masjid
At-Taqwa sekitar 06.45 wib. Limabelas menit sebelum pelaksanaan sholat
Idul Adha. Sebetulnya kalo sholat Ied, dianjurkan oleh Nabi Muhammad di
lapangan terbuka. Sebenarnya di depan masjid ada lapangan bola yang
dahulu kala –saat masih di SMA- pernah saya pergunakan buat main bola.
Tetapi oleh karena tanahnya agak lembab dan sedikit becek, maka panitia
melakukan sholat sunnah dua rakaat ini di dalam masjid.
Kelar
sholat, seperti biasa ada ceramah. Pagi itu yang bertindak sebagai
khotib adalah Ustadz H. Nazmuddin. Seperti biasa kami tetap mendengarkan
ceramah, meski banyak orang yang meninggalkan masjid setelah sholat.
Entah mereka ngerti, pura-pura nggak tahu, atau memang cuek, bahwa
kesempurnaan dari sholat Idul Adha adalah mendengarkan sholat. Artinya,
kalo habis sholat nggak mendengarkan ceramah, ya nggak sempurna
sholatnya. Nah, kami ingin mendapatkan nilai sempurna di mata Allah.
Tipikal
orang Melayu, terutama Indonesia, pada saat dengar ceramah cari tiang
dan senderan. Kalo mata sudah nggak kuat, bisa tidur dengan bersandar.
Ini nggak cuma pas sholat Ied. Perhatikan kalo tiap Jum'at, banyak orang
yang berbondong-bondong masuk masjid lebih awal tetapi ingin mencari
tempat paling belakang supaya bisa bersandar di tembok. Bukannya maju
paling depan, kok malah cari tembok ya? Aneh!
Dalam
ceramahnya, Ustadz H. Nazmuddin menjelaskan kembali napak tilas sejarah
Nabi Ibrahim A.S. Bahwa acara penyembelihan hewan qurban ini adalah buat
mengenang kembali peristiwa yang terjadi pada Nabi Ibrahim. Buat
mengetahui tingkat keyakinan dan keimanan Nabi Ibrahim, Allah memberikan
wahyu kepadanya agar menyembelih anaknya, yakni Ismail.
Betapa
pilu hati Nabi Ibrahim menerima wahyu dari Allah tersebut. Kenapa?
Sebab, putra yang sangat disayangi ternyata harus direlakan buat
disembelih. Namun kecintaan pada Allah nggak boleh dikalahkan oleh
kecintaannya pada anaknya. Apalagi Ismail juga mantab dan ikhlas
menerima cobaan, sebagaimana dikatakan lewat firman Allah SWT dalam
Surah As-Saffat ayat 102:
Ibrahim
berkata: “Hai anakka, sesungguhnya aku melihat mimpi bahwa aku
menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu”. Ia menjawab: “Hai
bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; Insya Allah kamu
akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.
Berkat
keteguhan hati Nabi Ibrahim, akhirnya Allah mengutus Malaikat Jibril
menggantikan Ismail dengan seekor domba dari surga.Domba itulah yang
kelak disembelih dan daging-dagingnya dibagikan kepada para fakir
miskin.
Kambing
yang matanya buta. Kok kambing cacat bisa diterima oleh pantia qurban
di masjid At-Taqwa ya? Bukankah nggak boleh? Selain kambing bermata buta
ini, ada domba yang saya temukan kakinya patah.
Dalam
ceramah, Ustadz H. Nazmuddin juga mengingatkan lagi, bahwa kalo kita
mau berqurban, kesempatannya bisa sampai tiga hari, yakni dari selesai
mengerjakan sholat Isul Adha sampai dua berikutnya. Jadi nggak ada kata
terlambat buat berqurban dan berqurban itu punya banyak makna, salah
satunya semangat berbagi kepada sesama yang kebetulan berasal dari
golongan kurang mampu.
Barangsiapa
baginya ada kemampuan (lapang rizkinya) akan tetapi dia tidak mau
berqurban, maka hendaknya ia mati dalam keadaan menjadi Yahudi atau
Nasrani (atau keluar dari Islam).
Kelar
sholat, kami melakukan inspeksi ke tempat berkumpulkan hewan qurban.
Menurut panitia At-Taqwa, jumlah sapi yang terkumpul di masjid ini
adalah 6 ekor sapi dan 60 ekor kambing dan domba. Jumlah segitu jauh
dibanding dengan masjid dekat rumah saya yang berhasil mengumpulkan 3
ekor sapi dan 10 ekor kambing. Maklumlah, masjid kecil dan berada di
kampung.
Lapangan
sepakbola At-Taqwa dilihat dari dalam masjid At-Taqwa. Sebetulnya Nabi
Muhammad mensunnahkan sholat Ied di lapangan terbuka. Tetapi karena
tanahnya basah dan ada yang becek gara-gara hujan, maka dipergunakan
masjid sebagai tempat sholat.
Seperti Anda ketahui,
hewan-hewan yang diqurbankan adalah hewan-hewan yang memiliki beberapa
kriteria, antara lain sehat secara fisik. Artinya, hewan qurban nggak
boleh sakit dan nggak boleh cacat. Makanya, biasanya Pemerintah Kota
(Pemkot) dalam hal ini Dinas Kesehatan akan memeriksa kondisi hewan
qurban. Namun kayak-kayaknya tahun ini nggak melakukan uji kualitas dari
hewan-hewan qurban deh. Prinsipnya, kalo hewan qurban kelihatan sehat
wal afiat, ya layak dijadikan hewan qurban. Namun ketika kami melihat ke
lokasi di tempat kambing, kami melihat ada seekor kambing yang matanya
buta. Kelihatannya nggak masalah, tetapi cacat yang dialami oleh kambing
menjadi aspek utama dalam penyerahan hewan qurban. Kok kambing buta
bisa lolos panita qurban sih? Harusnya nggak boleh terjadi, nih!
Anyway,
kami nggak bisa menyaksikan hewan qurban hasil dari sumbangan kolektif
anak kami, karena pemotongan seluruh hewan baru berlangung jam 09:00
wib, sementara waktu yang terlihat di jam tangan saya menunjukkan pukul
07:35 wib. Artinya masih lama waktu buat menyaksikan pemotongan hewan.
Oleh karena itu, kami memutuskan untuk langsung ke rumah orangtua kami
dan menikmati opor ayam plus ketupat yang nyummi banget.
all photos copyright by Brillianto K. Jaya
No comments:
Post a Comment