Monday, March 29, 2010

KADO ISTIMEWA DI HARI FILM NASIONAL

Seorang kakek terlentang di sebuah tempat tidur menjelang ajalnya. Ia bernama kakek Zhen. Di samping tempat tidur, ada seorang pria yang tak lain adalah cucu kakek Zhen. Sang cucu menyanyakan apa permintaan terakhir kakek.

”Aku ingin melihat penari erotis,” ujar kakek Zhen.

Dengan diiringi oleh alat tradisional Afrika, muncullah seorang wanita cantik berambut pirang. Menurut cucu Zhen, wanita yang berbusana suster ini adalah wanita Eropa yang paling cantik. Perlahan-lahan, wanita muda ini membuka kancing baju susternya satu persatu. Begitu membuka seluruh kancing, penis si kakek tiba-tiba ’berdiri’. Ia ereksi.


Setelah penutupan bioskop Benhil Raya Theater, kini tinggal 2 bioskop non-21 yang masih bertahan di Jakarta ini.

Kisah di atas adalah opening scene film Temtation Summary yang dibintangi oleh Siao Ze Cin, Wang Ching Ho, Yang Yu Siang, dan Chang Tai. Film Mandarin yang disutradarai oleh Ho Bam ini adalah film terakhir yang diputar di bioskop Benhil Raya Theater yang berlokasi di jalan raya Bendungan Hilir no 1, Jakarta Pusat.

Per 1 April 2010 ini, manajemen bioskop Benhil Raya Theater memang sudah harus mengosongkan bioskop. Mereka harus hengkang, karena manajemen bioskop ini secara resmi sudah menghentikan operasional bioskop yang sudah beroperasi semenjak tahun 1974 ini.

”Kabarnya pimpinan kami terlilit hutang dengan manajemen sebelumnya,” ujar pak Sai’in yang sudah bekerja sejak tahun 1980-an ini sebagai petugas pemutar film dan teknisi.

Yang dimaksud ’terlilit hutang’ adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) gedung bioskop yang belum dibayar selama dua tahun. Menurut pak Sai’in, manajemen sebelumnya tidak membayar PBB dan hal tersebut dibebankan oleh manajemen yang sekarang ini. Kalo PBB-nya cuma limaratus ribu atau dua juta barangkali masih bisa dibayarkan, tetapi lebih dari segitu.

”Setahun PBB bioskop ini sekitar duapuluh juta rupiah,” ungkap pak Sai’in. ”Jadi kalo bioskop ini menunggak dua tahun, manajemen ini hutang 40 juta rupiah.”

Barangkali buat bioskop sekelas Cineplex 21, XXI, atau Blitz, membayar PBB seharga Rp 20 juta nggak masalah. Maklumlah, harga tiket bioskop-bioskop itu antara Rp 15 ribu sampai Rp 35 ribu. Lebih dari itu, jumlah penonton bioskop-bioskop buat kelas menengah ke atas tersebut. Nah, harga tiket bioskop Benhil Raya Theater cuma 3.000 perak!

DARI DULU TETAP BEGITU

Selama ini bioskop Benhil Raya Theater menjadi bioskop kelas bawah. Orang-orang yang berpenghasilan rendah sangat mengandalkan bioskop ini sebagai tempat hiburan. Bahkan dahulu, ketika bioskop non-21 belum memonopoli perbioskopan nasional, bioskop Benhil termasuk bioskop elit.


Kebangkrutan bioskop Benhil Raya Theater membuat pak Sai'in kembali ke kampungnya di Bogor.

”Di sekitar Benhil ini dulu ada dua bioskop,” ujar pak Sai’in. ”Tapi yang bertahan cuma bioskop Benhil ini. Bioskop yang satu lagi sudah berubah menjadi Menara Batavia (persis di samping pintu keluar Sahid Jaya Hotel, jalan Prof. Satrio, Casablanca)”.

Sejak tahun 1974, kondisi gedung dan jumlah bangku bioskop Benhil tidak berubah. Awalnya, bioskop Benhil Raya Theater ini memiliki 1.200 bangku. Sekadar info, bioskop-bioskop ‘tempo doeloe’ memuat 800 sampai dengan 1.000 kursi. Begitu 21 menguasai bioskop di tanah air , jumlah kursi yang banyak itu dibagi menjadi beberapa studio, sehingga jumlah kursi menjadi lebih sedikit, yakni rata-rata menjadi 200 kursi per studio atau per layar. Meski dari segi kursi berkurang, namun dari jumlah layar jadi banyak. Sebab, sebelum 21 merubah bioskop ‘tempo doeloe’ menjadi seperti studio-studio ‘mini’, di satu bioskop cuma memiliki 1 layar. Hal ini menyebabkan film yang diputar cuma 1 judul. Ketika ada judul lain yang ingin diputar, maka dibutuhkan jam putar film yang berbeda.

Jumlah layar bioskop tahun 2008 ini masih jauh dibanding dengan limabelas tahun lalu, yakni tahun 1993. Pada tahun 1993, jumlah layar yang tersedia sebanyak 3.045 layar. Angka 3.045 layar tersebut memang naik dari dua tahun sebelumnya (1991), dimana jumlah layar mencapai 2.853 layar yang tersebar di 2.306 gedung bioskop . Tahun 2007, Indonesia hanya memiliki 327 bioskop berlebel sinepleks 21 dan 146 bioskop yang non-21, dimana total layar yang dimiliki adalah 473 layar.


Ibu penjual tiket bioskop Benhil Raya Theater. Nggak jelas nasibnya.

Jika sebuah bioskop sinepleks memiliki minimal 3 layar, maka jumlah bioskop sinepleks yang berjumlah 327 bioskop itu memiliki 981 layar. Jika ditambah 146 layar dari bioskop non-21 yang rata-rata hanya memiliki satu layar per bioskop, maka akan menghasilkan angka sebanyak 1.127 layar. Namun biskop Benhil Raya Theater tidak seperti bioskop-bioskop lain itu. Dari dulu sampai menjelang 'ajal', biskop ini tetap kayak begitu. Berbeda dengan bioskop Metropole yang dahulu sebelum menjadi sinepleks dan XXI, jumlah kursinya masih 1.446 kursi di tahun 1954.

NASIB KARYAWAN

Menurut Manager bioskop Benhil Raya Theater Yoyo Soenaryo, bioskop ini sudah beberapa kali pindah pengelola. Awalnya, bioskop ini dikelola oleh Tedy Mukti di bawah perusahaan PT Benhil Raya. Namun Tedy tidak sanggup mengelola. Pada tahun 1999, pengelolaan dialihkan ke H, Ridwan Suhadji. Nama pria terakhir ini tercatat pada surat izin tetap usaha pariwisata bidang rekreasi dan hiburan umum yang dikeluarkan Pemerintah DKI Jakarta pada 25 Juli 1999, dengan nomor193/5/1.758.1. Pengelolaan terakhir dipegang oleh pak Yoyo.


Bangku bioskop. Awalnya bioskop ini bisa memuat 1.200 penonton.

“Pada tahun 1997, bioskop ini masih berjaya,” ujar pak Yoyo yang profesi aslinya sebagai kontraktor. “Dengan kapasitas bangku yang cuma 1200, jumlah penonton di tahun itu membludak melebihi jumlah bangku. Pernah kami harus menyediakan bangku tambahan ke dalam bioskop.

“Saya sering ke bioskop ini,” ujar pak Duloh (73 tahun), warga Pasar Minggu. “Apalagi sejak bioskop seperti ini sudah tidak ada lagi di Jakarta. Dulu waktu bioskop model Benhil ini masih ada di Pasar Minggu, saya masih sering nonton di situ. Tapi bioskop itu sekarang sudah tidak ada dan jadi kolam renang.”

Boleh jadi, tanpa pak Yoyo, bioskop ini sudah lama mati beberapa tahun lalu. Menurut pak Sai’in dan juga diakui oleh karyawan lain, pak Yoyo dianggap menyelamatkan ‘nyawa’ bioskop ini plus karyawan bioskop ini.

“Saya kasihan dengan mereka (karyawan bioskop), pak,” ujar pak Yoyo. “Saya mau diangkat menjadi pengelola bioskop ini lebih, karena rasa sosial saya pada mereka. Mereka pun mengandalkan saya dan meminta agar saya mempertahankan bioskop ini.”

Saat ini karyawan bioskop Benhil Raya Theater berjumlah 6 orang, yang terdiri dari 2 pemutar proyektor, 2 penjaga tiket bioskop, dan 2 tenaga keamanan. Sekadar info, mereka ini semua dibayar di bawah Upah Minimum Regional (UMR) yang diterapkan di Provinsi DKI Jakarta ini sebesar Rp 1,5 juta. Jadi kebayang dong berapa penghasilan mereka?

Berbagai upaya dilakukan untuk mempertahankan eksistensi bioskop tua ini. Meminta keringanan pajak tontonan misalnya. Menurut pak Yoyo, rata-rata per bulan, manajemen bioskop ini menyetor pajak tontonan senilai Rp 80 ribu. Namun kalo PBB, bioskop ini tetap menyetor cukup besar, yakni sekitar Rp 20 juta per tahun.

Selain strategi meminta keringanan pajak tontonan, pak Yoyo juga memakai strategi dalam hal pemutaran film. Selama ini, buat menarik minat penonton, film-film yang diputar adalah film-film yang bergenre seks atau biasa disebut film ‘esek-esek’, seperti film Temtation Summary yang sore itu saya tonton.

“Kalo kami putar film eksyen apalagi drama, wah pasti nggak ada yang mau nonton,” aku pak Yoyo. “Tetapi kalo film yang berbau seks, pasti ada yang nonton.”

Jangan salah, meski film yang diputar film ‘esek-esek’, namun belum tentu bioskop ini ada penontonnya. Boleh jadi dari 800 bangku yang masih dianggap layak sebagai tempat duduk, ada sekitar 10 penonton yang menyaksikan film tersebut. Namun manajemen bioskop punya kebijakan, kalo jumlah penonton tidak mencapai 10 orang, maka tiket akan dibagikan pada calon penoton yang sudah terlanjut membeli tiket seharga Rp 3.000 itu.

Namun sayang, pak Yoyo tidak mampu mempertahankan keberadaan bioskop tua. Pasalnya hutang PBB selama dua tahun yang harusnya dibayarkan bioskop ini, ternyata tidak dibayarkan. Gara-gara berhutang PBB sebanyak Rp 40 juta, pak Yoyo tidak sanggup lagi mengelola bioskop ini. Itulah yang kemudian pihak manajemen menyerah dan memutuskan buat menutup bioskop ini.

“Saya sangat sedih melihat kenyataan ini,” kata pak Sai’in, bapak 3 anak dan 2 cucu ini. “Saya juga tidak bisa menyalahkan pak Yoyo dalam hal ini. Beliau sudah berusaha mempertahankan bioskop ini, namun ternyata harus menyerah, apalagi diminta untuk membayar PBB.”


Saya dibelakang proyektor tua merek philips
Itulah kenyataan yang harus dialami oleh bioskop Benhil Raya Theater. Per 1 April 2010, mereka harus mengosongkan ruang bioskop. Kabar yang beredar, bioskop ini dan seluruh gedung pasar yang berada di kompleks Pasar benhil akan dirubuhkan dan akan digantikan oleh gedung BRI yang kebetulan lokasinya dekat situ.

Ironis sekali kenyataan ini kalo dikaitkan dengan Hari Film Nasional yang jatuh pada besok, yakni 30 Maret 2010. Kalo saya analogikan, penutupan bioskop ini merupakan ‘kado terindah’ di Hari Film Nasional. Barangkali kalo sekadar penutupan bioskop selama ini sudah dimaklumi. Namun yang menyedihkan adalah nasib 6 karyawan bioskop ini yang masih terkatung-katung.

“Saya sih tidak berharap mendapatkan uang pesangon puluhan juta,” ungkap pak Sai’in.”Tapi setidaknya kami diberikan uang buat pengabdian kami selama ini lah.”


all photos copyright by Brillianto K. Jaya

3 comments:

sokat said...

Kalo melihat kenyataan yang ada. Cepat atau lambat, keberadaan bioskop2 tua (dilihat dari fasilitas dan modal yang tua) akan segera mengurangi jumlah layar bioskop di negeri ini.
Ironis memang. Tapi begitulah. Lebih banyak yang suka bergabung dengan sinepleks 21 group, ketimbang merenovasi bioskop2 antik agar menjadi kembali cantik.

diary si tukang gowes said...

Betul mas Sokat. Nampaknya pemerintah memang blm trtarik utk membuat program revitalisasi bioskop2 tua. Bioskop2 itu dibiarkan ambruk. Padahal persoalan perfilman nasional salah satunya adalah kekurangan layar. Layar dibuat kalo ada bioskop. Seandainya pemerintah bisa merevitaliasi bioskop tua, bisa jadi bioskop jd cantik & sekaligus jd tempat bersejarah...

Hamid Anwar said...

Sayang sekali, saya juga penggemar bioskop tapi tinggal di Jawa Tengah. Di blog saya ini ada beberapa artikel yang saya ulas tentang bioskop non21 di Jateng..