Selama ini istilah "anak kolong" itu identik dengan anak tentara.
Nggak semua "anak kolong" anak tentara. Ada anak kolong yang benar-benar
anak yang hidup sehari-hari di kolong, lebih tepatnya di kolong
jembatan. Mereka nggak cuma makan dan tidur, tetapi belajar, berak,
ngobrol, dan bermain juga dilakukan di kolong jembatan.
Kalo
Anda mau lihat, di Jakarta ini banyak anak-anak yang hidup di kolong,
karena orangtua mereka memang nggak punya rumah. Boro-boro beli bahan
baku buat bangun rumah, buat beli tanah aja nggak mampu.
Mereka
memang serba salah. Tapi kalo mau jujur ya seharusnya mereka juga
sadar, hidup di kota besar kayak Jakarta ini kudu tahan banting. Kalo
nggak menggusur, ya kegusur. Mereka yang nggak punya duit, udah pasti
kegusur. Bagi yang nggak punya duit, kudu cukup sadar diri dan tinggal
di kolong-kolong jembatan kayak anak-anak yang saya temui beberapa hari
lalu.
Saya bersyukur bisa punya teman baru lagi,
yakni anak-anak kolong jembatan, tepatnya di jembatan layang Kampung
Melayu. Mereka adalah another anak kolong yang ternyata nggak semuanya
badung dan kriminal. Ini setelah saya ngobrol dari hati ke hati dengan
mereka. Dari cara bicara dan tingkah laku pun bisa terlihat, kok. Bahkan
luar biasanya, satu dari anak-anak kolong ini selalu juara kelas,
mengalahkan anak orang mampu.
Tampak
dalam (foto atas) dan tampak luar (foto bawah). Sebelum ditutup, di
kolong jembatan ini ada pasar yang sudah ada beberapa tahun. Pasar ini
gusuran dari samping Kelurahan Pasar Bukit Duri, Manggarai. Setelah
ditutup, pasar tetap ada tetapi nggak dikolong, melainkan di pinggir
jalan raya Casablanca. Sementara beberapa keluarga tetap tinggal di
kolong dengan kondisi gelap gulita. Itu kondisi pada siang hari (foto
atas), bagaimana malam hari ya? Sudah pasti tidur sama tikus dan ular.
Meski
dengan keterbatasan fasilitas, anak-anak ini tetap ceria. Dengan baju
kumal, wajah kusam, masih ada tawa di antara mereka. Padahal mereka
nggak tahu kalo ada banyak anak kecil seusia mereka sudah mendapatkan
Blackbarry dari orangtua, dimana harga Blackbarry mereka sama dengan
setengah tahun pendapatan orangtua anak-anak kolong ini. Padahal
anak-anak kolong ini pun nggak pernah tahu kalo ada anak-anak yang saat
ini sedang menikmati liburan di sebuah kapal pesiar dan keliling Eropa.
Sementara anak-anak kolong ini cukup menikmati sebuah ayunan yang
terbuat dari karet ban bekas yang digantung di batang pohon atau petak
umpet.
Bolongangan
itu bukan jendela (foto atas), tetapi tembok yang dibolongin buat udara
dan sinar masuk. Padahal udara yang masuk itu berasal dari sungai kotor
Kampung Melayu dan asap kendaraan yang berasal dari terminal. Meski
begitu, ada tanah sedikit buat anak-anak main ayunan.
Kalo
kita berada di situ, pasti rasa syukur kita pada apa yang kita miliki
sekarang ini muncul. Kita nggak terlalu ngotot mengejar harta atau tahta
dengan cara salah. Kita pasti akan melakukan cara yang biasa, namun
tetap yakin Allah akan melihat aktivitas kita dan memberi yang terbaik.
Sayang, kita nggak terlalu nafsu buat berkunjung ke orang-orang kayak
begini. Coba kalo Anda turun ke kolong jembatan dan melihat bagaimana
mereka hidup, seharusnya kita bisa jauh lebih bersyukur dan akan ucap: Alhamdulillah ya Allah!
all photos copyright by Brillianto K. Jaya
1 comment:
mantapp wawasan baru.. :D ada bahan klo diskusi sm tmn dkampus nih.. hehe
Post a Comment